Wednesday, September 29, 2010

LIFE WITH GIVE AND RECEIVE seasion 3

Alkisah, dua roh manusia tengah menunggu giliran untuk dilahirkan ke dunia. 
Datanglah malaikat menawarkan dua pilihan sekenario kehidupan pada mereka.
“Kalian akan segera di terjunkan ke dunia, namun salah satu dari kalian akan
menjalani hidup 'memberi', sedang yang satu lagi, menjalani hidup 'menerima'.
Siapa yang mau menjalani hidup 'menerima?'.“   Mendengar pertanyaan itu, roh yang pertama berpikir dalam hati,  "Menjalani
hidup menerima tidak akan menderita bahkan menyenangkan"   Setelah berpikir demikan ia bergegas menjawab, "izinkanlah saya menjalani hidup
hanya dengan menerima."   Melihat A berujar demikian, B sama sekali tidak iri.. Bahkan ia berpikir,
Menjalani hidup memberi berarti selalu membantu orang lain. Suatu perbuatan
yang mulia! Tanpa ragu, B berkata, "Raja Neraka, saya rela menjalani hidup
memberi."   Setelah mendengar jawaban kedua ROH itu, Sang Malaikat mencatat penentuan masa
depan keduanya dan berujar, "B, karena kau memilih hidup memberi, maka engkau
akan menjadi orang kaya yang dermawan, suka beramal dan menolong orang.
Sedangkan kau A, karena mengharapkan hidup menerima, maka engkau akan menjadi
pengemis yang hidup dari pemberian orang lain."   Kisah ini saya pernah dengar dari cerita ayahku, entah darimana kisah ini
muncul, namun yang jelas prinsip inipulalah yang sepertinya selalu dipegang
teguh ayahku hingga akhir hayatnya dengan tetap berusaha mewariskan prinsip itu
pada anak dan istrinya.   Masih tergambar jelas dalam benak saat ayahku tercinta tengah sekarat di tempat
tidur menjelang ajalnya. Saat itu saya sebagai anak keempat dari tujuh
bersaudara masih kelas 1 SLTP, kakak tertuaku baru saja pulang wisuda SMF
(Sekolah Menengah Farmasi) sebagai lulusan terbaik ke-3 seluruh Indonesia dan
langsung mendapat Golden Ticket di Fakultas Kedokteran, sedangkan adik bungsuku
baru naik kelas dua SD.   Kami sekeluarga meraung dan meneteskan air mata kesedihan, kami belum siap
harus ditinggal pergi oleh ayah kami yang sangat luar biasa. Bagi kami tak ada
habisnya cerita dan kekaguman tentang ayah yang luar biasa hebat. Bahkan Om,
tante, uwa, nenek, sepupu dan seluruh keluarga kami sangat mengagumi
kecerdasan, kebijaksanaan, dan kesabaran beliau dalam perannya sebagai pimpinan
keluarga. Bahkan pola didikan yang diterapkan ayahku ikut diadaptasi oleh
mereka.   “Pa…, jangan tinggalkan kami. Mama belum siap mengurus dan mendidik ketujuh
anak kita sendirian..” Mamaku membisikan ratapnya di telinga kiri ayahku.   Di luar dugaan kami, ternyata sebait ‘Magic Word’ meluncur dari lisan ayahku
seraya berujar, “Ma… ada Allah.. ada Allah.. ma..  jangan khawatir.. ada
Allah..”   Seraya terhentak dan menahan tangis, mamaku termangu mendengar ucapan yang
sangat akrab di telinga mamaku. Sejak awal menikah, terlebih ketika menjalani
‘strooke’ selama 3 tahun akibat penyakit darah tinggi, ayahku selalu meyakinkan
kami bahwa hidup itu mudah, sebab ada Allah yang senantiasa menjaga dan
memberikan kita yang terbaik sesuai yang kita butuhkan. Mamaku terkadang ragu
jika harus menjalani hidup bersama ketujuh anak yang masih kecil jika kelak
Allah berkehendak lain terhadap ayahku. Tapi lagi-lagi ayahku selalu berujar
“AdaAllah…”.   Seraya mengumpulkan kembali energi ketegaran yang sempat luntur tadi, mamaku
berbisik ringan, “Pa… Mama akan urus dan didik anak-anak kita dengan
sebaik-baiknya. Karena ada Allah yang selalu bersama kita…”   Mendengar bisikan itu, ayahku menarik napas panjang seraya berujar “Allah…”.
Segenap tangis dan ratap riuh membahana di seluruh relung rumah kami. Kami
belum siap saat itu, kakak tertuaku sekejap pingsan, adik perempuanku menarik
kaki ayahku seraya berujar “Tini mau ikut Pa… ajak tini Pa… jangan tinggalin
tini… ajak tini Pa..”.   Kami meronta sejadi-jadinya, meluapkan semua emosi kami. Tapi entah kekuatan
dari mana yang merasuk di mamaku. Dengan penuh ketegaran Mamaku merangkul semua
anaknya seraya berujar “Anak-anakku, masih jelas di telinga pesan terakhir
almarhum, Mama akan jaga kalian dan ada Allah yang Bantu kita. Jadi jangan
menangis dan membuat almarhum menderita dengan tangis kalian. Relakan..
ikhlaskan”.   Mamaku menarik dan memeluk tubuh adik perempuanku yang terus memegang kaki
ayahku, sambil berujar “Ayo Tini.. ikhlaskan. Lihat Tin, Almarhum tersenyum
pada kita..” sambil menunjuk ke wajah ayahku dengan senyum terkembang di
bibirnya, teduh.. tenang… subhanallah. . husnul khatimah…   ***   Selepas meninggal ayahku, kehidupan mulai menampakan wujud aslinya, tak ada
kemewahan yang dapat kami tunjukan, namun tak ada juga derita yang kami
rasakan. Kehidupan selalu memberikan warna indah bagi kami di bawah bimbingan
mamaku yang lembut sebagai ibu namun kadang harus terpaksa berbuat keras
sebagai seorang ayah. Untungnya kami sejak dulu hingga kini kami selalu membuat
mama dan almarhum ayahku bangga dengan selalu membawa prestasi gemilang di
sekolah. Juara umum atau minimal 5 besar di sekolah.   Prestasi itulah yang membuat kami dapat bertahan sekolah hingga ke jenjang yang
tinggi. Kakak tertuaku, urung melanjutkan kuliah di kedokteran karena tak ingin
merepokan om-ku yang bersedia membiayai hingga lulus. Begitu juga kakak
perempuan keduanya, mereka memilih bekerja untuk membantu adik-adiknya
bersekolah. Agar kami sekeluarga tidak bergantung pada orang lain, tidak
mengemis selain pada Allah.   Kami semua seringkali mendapat beasiswa dari sekolah, namun dilema selalu
muncul saat syarat beasiswa mengharuskan kami melampirkan “Surat Keterangan
Tidak Mampu” dari kelurahan. Setiap kami meminta izin ke mamaku untuk itu,
entah mengapa hati beliau membatu, hanya beruajar “Ucapan dan perbuatan itu
bagian dari doa, kalau kamu meminta surat keterangan seperti itu, maka kami
telah berdoa menjadi orang yang tidak mampu dan menampatkan diri kamu sebagai
orang yang mengemis. Kalau memang Allah mentakdirkan kamu dapat beasiswa tanpa
surat itu, maka pasti kamu akan dapat”.   Aku yakin sikap itu diwariskan dari ayahku, saat beliau masih hidup, beliau
pernah berkata keras gara-gara sekolah akan memberikan beasiswa prestasi bagi
mereka yang tidak mampu, saat itu kakaku memaksa dan merengek untuk meminta
surat keterangan tidak mampu. “Memangnya orang harus berlomba-lomba menjadi
orang miskin untuk mendapat beasiswa? Kalau memang beasiswa prestasi, untuk apa
membuat surat keterangan tidak mampu, tugas kamu belajar, kalau orang ingin
menghargai kamu, bukan karena belas kasihan manusia, tapi dari prestasi
kamu..!, ALLAH tak akan pernah SALAH KASIH. Kalau itu rezekimu, pasti akan kamu
dapat beasiswa itu tanpa mengemis..!”   Sepeninggalan ayahku, ibuku tetap menjadi ibu rumah tangga sekaligus kepala
keluarga. Ibuku tidak bekerja, karena sejak menikah dulu, ibuku harus berhenti
bekerja dan focus menjadi ibu rumah tangga. Tugas ayahku menafkahi dan mendidik
anak sedangkan mamaku mengurus keluarga. Konvensional memang, tapi lagi-lagi
ayahku berujar “Mengurus anak adalah ibadah, mencari rizki adalah sarana
ibadah. Jangan sampai bekerja menelantarkan anak, kasih sayang untuk anak tak
akan terbeli oleh apapun, apakah harta yang melimpah dapat membeli kasih sayang
untuk anak kita? Berapa banyak kasih sayang untuk anak yang dirampas dan
tertukar harta yang tak lagi berguna saat di akhirat nanti..!”   Ujian lainnya, datang saat harus berbagi di saat kami juga sangat membutuhkan.
Namun kembali ayahku selalu menekankan bahwa berbagi itu lebih baik dan
berusahalah tidak menolah permintaan orang selagi kita masih bisa mengusahakan.
Tak sekali ada tetangga yang datang untuk meminta bantuan biaya rumah sakit,
biaya sekolah, atau bantuan lainnya bahkan di tengah malam mereka datang tanpa
sungkan untuk mengetuk rumah kami, karena mereka tahu bahwa ayahku tak pernah
akan bermuka masam pada mereka, bahkan di tengah kondisi sakitnya, namun ayahku
tetaplah orang yang bijak, yang minta ibuku untuk membantu kendati dana itu
dibutuhkan untuk anak dan keluarganya. Jawabnya selalu ringan “Mungkin rezeki
yang ada di rumah kita malam ini memang diperuntukan baginya, jadi untuk apa
kita tahan, toh nanti kalau saatnya tiba kita pasti dapat gantinya...”   Lagi-lagi susah memahami hal tersebut, namun hal itu nyata. Mengantar tetangga
sakit atau Ikut menguburkan jenazah tetangga di jam 2 pagi-pun ayahku pernah,
jawabnya lagi-lagi ringan “Kalau kita yang berada di posisi dia, bagaimana?,
jangan pernah menolak berbuat baik, sebab Allah tak akan pernah lupa membalas
perbuatan kita..!”   Ayahku juga dulu seorang pengusaha yang sukses, omset bisnisnya jika dikonversi
sekarang bisa mencapai milyaran rupiah. Ayahku memasok bibit ayam ternak, pakan
ternak, obat ternak, dan memberikan modal usaha kepada pengusaha peternakan.
Hampir seluruh perternakan ayam di Banten (Tangerang, Serang, Pandeglang,
Rangkas bahkan Cilegon) adalah wilayah bisnis ayahku. Bisnisnya sangat maju
karena bermodalkan kejujuran dan keinginan untuk berbagi.   Tak jarang para pengusaha rekanan ayahku bermain nakal, misalnya menjual
sebagian besar ayam potongnya kemudian mengaku rugi karena ayamnya mati, atau
banyak modus lainnya, sampai tak melarikan uang modal yang ayahku berikan atau
menolak untuk membayar hutang. Banyak sekali kelicikan para pengusaha-pengusaha
busuk itu, namun ayahku tak pernah menuntut mereka ke polisi, atau mendatangkan
“Debt Collector”. Pamanku “gemas” melihat tingkah ayahku, namun beliau hanya
berujar “Biarkan Allah pasti akan menyadarkan mereka, toh mereka tidak akan
bahagia dengan apa yang mereka makan dari barang yang bukan haknya. Allah tidak
tidur dan tidak buta kok..”.. Pamanku sebagai pengawas lapangan hanya berujar
“Dasar bapakmu, terlampau baik pada orang..”   Sampai sekarang terkadang aku masih mempertanyakan beberapa sikap ayahku itu,
akankah hal tersebut karena ayahku terlalu gengsi untuk meminta? ataukah beliau
terlalu lemah hatinya sehingga tak berani memaksakan kehendak? yang jelas, kami
masih bisa bertahan hidup layak dengan memegang prinsip tersebut hingga kini.
Setiap kami membutuh sesuatu, selalu saja Allah mencukupkan kami dengan jalan
yang tak di duga-duga. Bahkan saat ayahku tiba-tiba stroke dan harus dibawa ke
rumah sakit, berduyun-duyun tetangga datang tanpa harus kami minta. Bahkan
semua tetangga, teman dan kerabat jauh ikut menangis saat ayahku menutup mata
di dunia, padahal mereka mengaku tak pernah menangisi orang lain saat meninggal
selain ayahku ini. Saat kita memberi, jangan pernah berharap untuk menerima
balas, sebab Allah tak akan pernah salah kasih dan lupa untuk membalas..   Hidup MEMBERI menunjukkan bahwa kita memiliki kelebihan, sehingga dapat
menolong orang lain. Hidup MENERIMA menunjukkan kita hidup dalam kekurangan.
Ada pepatah yang mengatakan tangan yang memberi berada di atas tangan yang
menerima.   Dengan bersikap memberi dan melindungi semua mahluk hidup, membantu mengurangi
penderitaan mahluk hidup lainnya, seperti memberi semangat bagi yang sedang
bersedih, turut merasa lapar saat orang lain sedang kelaparan akan menjadikan
bumi yang kita huni ini sebagai tempat yang menyenangkan. GBU.

No comments:

Post a Comment